Tondano, DetikManado.com – Salah satu dosen Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat-Seminari Pineleng (STF-SP), Dr Paul R Renwarin mengatakan, masyarakat etnis Minahasa memilih bulu (bambu) untuk diisi bahan makanan dan dibakar.

Ia menjelaskan, alasan penggunaan dan pencarian bulu yang telah tersedia di kebun, sehingga memudahkan masyarakat menghidangkan makanan kebun.

“Masyarakat di desa memilih bulu untuk diisi bahan makanan dan dibakar, karena di kebun penggunaan bulu lebih memudahkan masyarakat untuk mematangkan makanan. Panci atau kuali tidak perlu dibawa ke kebun,” kata Renwarin kepada DetikManado.com, Selasa (2/3/2021) lalu, di Pineleng, Minahasa, Sulut.

Renwarin menyebutkan, bambu tersebut yang digunakan harus dipilih dengan teliti.

“Ada seratus macam bulu. Dengan ini maka masyarakat biasanya memilih bulu yang lebih mudah dan tipis, agar proses pematangannya cepat,” jelasnya.

Penggunaan bulu biasanya dilakukan oleh masyarakat di daerah pedalaman dan bukan di daerah pesisir pantai.

Ia pun menambahkan penggunaan bulu diadakan oleh keluarga batih di rumah dan masyarakat tertentu pada acara khusus, demi memudahkan penyajian makanan pada keluarga dan acara yang dilangsungkan.

“Keluarga tertentu di Minahasa, sesekali menggunakan bulu untuk menyediakan makanan dan dalam acara, seperti ulang tahun seseorang atau kampung, perkawinan, atau kumaus, penggunaan bulu ini pun biasanya dibuat, dengan alasan penyajian makanan yang lebih mudah,” sebut Renwarin yang juga rohaniwan Katolik.

Jenis dan Cara Pembuatan Makanan Bulu

Renwarin mengatakan, beberapa macam makanan di Minahasa yang dimatangkan bahan-bahannya dengan dibakar pada bulu ada delapan, yaitu Tinorangsak, Sayur Pangi, Sayur Kotoi/Sa’ut, Posana, Sayur Lutu, Nasi Jaha, Cucur, Sayur Pepaya dan Paku, serta Lemet.

“Cara pembuatannya mesti terukur bahan-bahannya barulah dimasak agar proses pembakaran dan pematangan menghasilkan rasa yang pas dan tepat,” katanya di Pineleng, Minahasa, Sulut, beberapa hari ini.

Misalnya Tinorangsak, bahannya terdiri dari 1 kilo gram (Campuran daging babi, hati gaba, hati keras, lemak/tembuna dan tawadan secukupnya). Tinorangsak dibuat dengan bumbu 50 gram rica merah, 25 guraka merah, 100 gram bawang merah, 5 batang daun bawang, 2 batang sereh, 10 lembar daun jeruk, daun selasih secukupnya dan garam secukupnya. Semua bumbu dan bahan dimasukan ke dalam bulu lalu dibakar hingga menjadi matang.

“Bahan dan bumbu harus terukur dan diperhatikan proses pembakarannya agar hasil yang sempurna dapat diperoleh,” tambah Renwarin.

Asal dan Perkembangan Makanan Bulu

Renwarin mengemukakan bahwa penggunaan bulu ini banyak terdapat di daerah Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

Dalam perkembangannya penggunaan bulu untuk mematangkan makanan awalnya dimulai pada masa kedudukan Spanyol pada abad ke-16.

Orang Minahasa biasanya menggunakan makanan bulu pula untuk ucapan syukur atas panenan.

Selain itu, penggunaan bulu untuk mematangkan makanan diadakan pula saat masa Natal, tahun baru, paskah, acara kumaus atau acara ulang tahun.

Demi pemenuhan kebutuhan protein, lemak dan karbohidrat, biasanya makanan bulu digunakan oleh keluarga batih.

“Sesekali keluarga batih menggunakan bulu untuk mematangkan makanan di rumah. Namun keluarga di daerah pedalaman-lah yang biasa menggunakannya,” ungkap Renwarin, Selasa (2/3/2021), di Pineleng, Minahasa, Sulut.

Beberapa makanan bulu yang biasanya diadakan pada acara dan abad ke-16 hingga abad ke-20, yakni Tinorangsak, Pangi, Su’ut (Sayur daun Pisang), Nasi Jaha, Posana (Sayur Paku), dan Lutu. Namun ada pula penemuan baru, yaitu Pepaya dan Lemet dengan Garam yang dimasukan dalam bulu lalu dibakar hingga matang.

“Ada penemuan baru yang juga enak yaitu Lemet yang dicampur dengan garam dan bukan gula seperti Lemet biasanya, dan juga pepaya muda yang dipotong-potong dan dicampur dengan bumbu serta dimasukan dalam bulu kemudian dibakar,” tandas Renwarin. (tr-02/rf)

Print Friendly, PDF & Email
  • Whatsapp

Source