Ketua Satgas Penanganan COVID-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengatakan ada lima obat yang sudah terbukti tidak ampuh melawan virus corona. Obat-obatan tersebut sebelumnya banyak digunakan pada awal masa pandemi.

“Obat-obat yang dulu dipakai untuk COVID-19 dan kini terbukti tidak bermanfaat, bahkan menyebabkan efek samping serius pada beberapa kasus: Ivermectin, Klorokuin, Oseltamivir, Plasma Konvalesen, dan Azithromycin,” kata Zubairi lewan akun twitternya @ProfesorZubairi beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, Ivermectin tidak disetujui penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat, WHO, dan regulator obat Uni Eropa. Menurutnya, banyak laporan pasien yang memerlukan perhatian medis, termasuk rawat inap setelah mengkonsumsi obat tersebut.

Sementara itu, katanya, Klorokuin, yang memang sudah dipakai oleh ratusan ribu orang di seluruh dunia, terbukti malah berbahaya untuk jantung, dan tidak memiliki kandungan antivirus.

Oseltamivir, yang digunakan untuk mengobati influenza. tidak memiliki bukti ilmiah dapat mengobati COVID-19. WHO sendiri, juga sudah mennyatakan bahwa obat ini tidak berguna untuk COVID-19.

“Kalau Oseltamivir jangan diminum, pilihannya apa? Ada beberapa pilihan untuk antivirus. Ada Avigan atau Favipiravir dan Molnupiravir serta Remdisivir. Nanti biar dokter Anda yang memilihkan,” tuturnya.

Terapi plasma konvalesen yang sempat digencarkan oleh Kemenkes pun ternyata sudah terbukti tidak bermanfaat untuk mengobati pasien COVID-19. Selain itu metode pengobatan seperti ini menelan biaya yang cukup mahal dan menyita waktu. Oleh karena itu, katanya WHO juga tidak merekomendasikannya kecuali dalam konteks uji coba acak control.

“Untuk Azithromycin, obat ini juga tidak bermanfaat sebagai terapi COVID-19 baik skala ringan maupun sedang kecuali ditemukan bakteri selain virus penyebab COVID-19 dalam tubuh anda, kalau hanya COVID-19 maka obat ini tidak diperlukan,” jelasnya.

Juru Bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito (VOA)
Juru Bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito (VOA)

Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan berdasarkan keputusan lima organisasi profesi dokter, yakni Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anastesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kelima obat tersebut telah dihapuskan dari pedoman tata laksana COVID-19 nasional yang terbaru.Wiku menjelaskan, keputusan ini sesuai dengan perkembangan studi dari hasil beberapa uji klinis maupun keputusan para ahli secara global.

“Perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu ini adalah hal yang wajar, mengingat ilmu kesehatan terkait COVID-19 masih terus berkembang. Untuk itu pemerintah berpesan kepada seluruh penyelenggara pelayanan baik rumah sakit maupun tenaga kesehatan, untuk mematuhi pedoman ini,” ungkap Wiku.

Pencegahan Lebih Penting

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mendukung keputusan Satgas untuk tidak menyertakan penggunaan kelima obat tersebut karena memang sudah terbukti tidak ampuh dalam upaya penyembuhan pasien COVID-19.

Meski begitu, menurutnya, yang paling terpenting dalam pengendalian pandemi COVID-19 adalah pencegahan.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Menurut Dicky, berdasakan riset awal, obat antivirus yang digunakan oleh pemerintah saat ini hanya efektif apabila diberikan pada pasien COVID-19 secara cepat dan tepat. Menurutnya, ini menjadi tantangan tersendiri utamanya di negara berkembang seperti Indonesia karena literasi masyarakat mengenai pentingnya melakukan deteksi dini dengan melakukan tes masih sangat rendah.

“Tapi tantangannya saat ini masalah literasi, kesadaran, atau masalah kemampuan mendeteksi dini terutama di negara berkembang. Bahkan negara maju sekalipun tidak semuanya bisa. Ini tantangan obat yang sifatnya antiviral khususnya yang mentreat atau dimaksudkan untuk mematikan virusnya atau mencegah perkembangan virus itu masih terbatas efektivitasnya harus (diberikan) awal, dan kemudian juga mahal, untuk satu terapi minimal Rp7 juta, tentu ini jadi tantangan,” ungkap Dicky.

“Oleh karena itu, jelas dalam pengendalian pandemi pencegahan menjadi lebih utama, karena kalau kuratif lalu telat bisa fatal akibatnya dan kemudian membutuhkan beragam obat pada pasien yang parah. Selain itu, kita belum pada konteks dimana antiviral ini benar-benar bisa efektif kalau diberikan kepada pasien yang sudah parah,” pungkasnya. [gi/ab]

Source