Mahkamah Kriminal Internasional pada Jumat (17/3) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Komisioner Hak Anak Rusia Maria Alexeyevna Lvova-Belova atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan di Ukraina.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah menolak mengomentari hal itu.

Namun pengamat Rusia di Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra kepada VOA, Sabtu (18/3), menilai keputusan ICC itu sudah tepat. Perintah penangkapan itu sesuai kejahatan perang yang dituduhkan kepada keduanya, yakni deportasi anak-anak Ukraina dan pemindahan paksa mereka ke wilayah Rusia. Bukti-bukti dari kejahatan ini bahkan ada di pernyataan resmi dan situs resmi pemerintah Rusia, ujarnya.

Radityo menambahkan keputusan ICC tersebut semakin menegaskan kesepakatan umum di dunia internasional mengenai pelanggaran yang dilakukan Putin dan rezimnya saat memulai invasi ke Ukraina 24 Februari 2022 lalu. Namun dia menilai keluarnya surat perintah tangkap Putin tidak akan memperburuk situasi.

Bendera Rusia berkibar di depan Menara Spasskaya Kremlin Moskow, Rusia, 27 Februari 2019. (Foto: REUTERS/Maxim Shemetov)
Bendera Rusia berkibar di depan Menara Spasskaya Kremlin Moskow, Rusia, 27 Februari 2019. (Foto: REUTERS/Maxim Shemetov)

“Masalahnya ICC ini juga tidak punya yurisdiksi terhadap Rusia. Rusia tidak mengakui kewenangan ICC. Selain itu, ICC tidak mungkin datang ke Rusia untuk menangkap Vladimir Putin. Yang mungkin dilakukan ICC adalah meminta negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma untuk menangkap Putin apabila Putin berkunjung ke negara tersebut,” kata Radityo.

Keluarnya surat perintah penangkapan Putin itu hanya akan menekan pemimpin Rusia itu karena ia tidak lagi dapat bepergian negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma, seperti Afrika Selatan. Meskipun demikian ada sejumlah negara yang tidak menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma, antara lain Indonesia, Amerika, Rusia dan India.

Tekanan juga akan dirasakan elite politik di sekitar Putin yang bisa jadi mendapatkan perlakuan serupa. Meskipun demikian menurutnya hal ini tidak akan membuat Putin menghentikan invasinya ke Ukraina.

Diwawancara secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro, Semarang, Mohamad Rosyidin, mengatakan keputusan ICC mengeluarkan surat perintah tangkap Putin tidak akan efektif karena hukum internasional berbeda dengan hukum nasional. Dalam politik internasional, logika kekuasaan yang berlaku, bukan hukum, sekalipun bersifat memaksa.

Menurutnya selama ini ICC hanya berhasil menyeret pemimpin negara yang kalah perang, atau negara yang lemah. Ia mencontohkan kegagalan ICC menyeret mantan Presiden Amerika George Bush ke pengadilan internasional setelah menuduhnya sebagai penjahat perang di Irak.

Selain itu, Rusia bukan negara yang menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma sehingga Rusia tidak terikat dengan konvensi tersebut.

“Saya kira tak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa menghentikan agresi Rusia di Ukraina. Tidak pula Amerika. Kalaupun negara-negara Barat mencoba bermain api, saya kira Rusia akan justeru lebih keras. Sudah berapa kali Rusia mengancam menggunakan senjata nuklir,” ujar Rosyidin.

Rosyidin memperingatkan kalau Rusia terdesak secara militer, kemungkinan tindakan Putin tidak lagi rasional dan berbahaya.

Menurutnya sanksi dan tekanan apapun tidak efektif, tidak bisa mengubah kebijakan Putin di Ukraina. Opsi pergantian kepemimpin di Rusia juga kecil kemungkinannya karena oposisi di negara tersebut sangat lemah.

Perang Ukraina yang telah berlangsung lebih dari setahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Serangkaian sanksi ekonomi dan tekanan politik yang diterapkan Barat terhadap Rusia dan Putin juga belum membuahkan hasil. [fw/em]

Source